
I. Pendahuluan: Hieronimus di Jantung Etika Publik (30 September)
1.1. Konteks Peringatan 30 September dan Signifikansi Historis
Santo Hieronimus, yang nama lahirnya adalah Eusebius Sophronius Hieronymus (c. 342–420 M), merupakan salah satu tokoh fundamental dalam sejarah Kekristenan awal. Ia dikenal sebagai Imam Kristen, Confessor, Teolog, Penerjemah, dan Sejarawan, yang jasanya telah membentuk tradisi Gereja Barat secara mendalam.1 Peringatan kehidupannya dirayakan oleh Gereja Katolik di seluruh dunia setiap tanggal 30 September, yang bertepatan dengan tanggal wafatnya.1
Di Indonesia, peringatan tanggal 30 September memiliki resonansi khusus karena secara kebetulan bertepatan dengan hari terakhir rangkaian Bulan Kitab Suci Nasional.2 Hubungan simbolis ini secara efektif memperkuat citra Hieronimus di kalangan umat Katolik Indonesia sebagai pelindung para sarjana dan otoritas tertinggi di bidang perkitabsucian. Dedikasinya yang total terhadap Firman Tuhan menjadi jembatan penghubung bagi umat di Indonesia yang tengah berfokus pada penghayatan Alkitab. Pengakuan resmi atas otoritas intelektual Hieronimus telah diperkuat Gereja melalui penerbitan surat Ensiklik
SPIRITUS PARACLITUS oleh Paus Benedictus XV pada tahun 1920, dalam rangka peringatan 15 abad kematiannya. Ensiklik tersebut secara eksplisit mengemukakan berbagai keutamaan dan sumbangsih Hieronimus kepada Gereja, memastikan statusnya sebagai Pujangga Gereja yang otoritatif.2
1.2. Pernyataan Tesis: Paradoks Kekudusan dan Tuntutan Kontemporer
Menariknya, meskipun dihormati sebagai Pujangga Gereja, Hieronimus seringkali dikenang bukan hanya karena kesalehan atau praktik devosionalnya, melainkan juga karena sifat-sifat yang dianggap buruk.2 Ia dikenal sebagai pribadi yang lekas panas, mudah naik darah, dan kadangkala menggunakan tulisan yang sarkastis yang dapat menyakiti hati orang lain.2 Namun, sifat keras dan militan ini tidak timbul dari kebencian, melainkan dari cintakasihnya yang luar biasa intens kepada Allah dan Putera-Nya, Yesus Kristus.2
artikel ini berargumen bahwa inti kekudusan Hieronimus terletak pada Integritas Intelektual yang Militan dan keberaniannya yang tak berkompromi dalam membela kebenaran Kitab Suci. Prinsip fundamentalnya, “Tidak kenal Kitab Suci, tidak kenal Kristus!” (Ignoratio Scripturarum, ignoratio Christi est!), menjadi manifestasi dari dedikasi radikal ini.2 Model militansi ini sangat relevan dan dibutuhkan oleh pejabat publik Katolik di Indonesia saat ini, yang menghadapi tantangan struktural yang endemik. Pejabat publik tersebut memerlukan keberanian moral yang tak tergoyahkan untuk menolak tiga fenomena sosial-politis yang mencederai kehidupan berbangsa: birokratisasi yang rumit, politisasi agama yang tidak sehat, dan demoralisasi hukum 3, serta untuk melawan krisis moralitas korupsi berjemaah.3
II. Sketsa Historis: Perjalanan Hidup dan Pembentukan Kecakapan Hieronimus
2.1. Masa Muda, Pendidikan Sekuler, dan Pertobatan Awal
Santo Hieronimus lahir di Stridon, Dalmatia, sekitar tahun 342 M. Ayahnya, Eusebius, adalah seorang Kristen yang saleh dan tuan tanah kaya raya, yang memastikan Hieronimus menerima didikan Kristiani sekaligus kebiasaan kerja keras.4 Ketika menginjak usia 12 tahun, ia dikirim ke Roma untuk mendapatkan pendidikan lanjutan di bidang ilmu hukum dan filsafat. Pilihan jalur studi ini mengindikasikan bahwa Hieronimus dipersiapkan untuk menduduki posisi penting dalam birokrasi atau pemerintahan kekaisaran, sejalan dengan status sosial keluarganya.4
Meskipun studinya berjalan lancar, kehidupan moral di Roma pada masa itu—yang dikenal tidak terpuji—mempengaruhi Hieronimus muda, menyebabkan cara hidupnya menjadi tidak tertib.4 Momen krusial dalam pembentukan karakternya adalah ketika ia sadar dan bertobat dari gaya hidupnya yang tak berdisiplin tersebut, yang kemudian ditandai dengan permandian oleh Paus Liberius. Pertobatan ini sangat esensial karena menunjukkan bahwa kekudusan Hieronimus tidak lahir dari kesempurnaan alami, tetapi dari pengakuan tegas atas kelemahan dan penolakan radikal terhadap lingkungan moral yang merusak. Kesalehan rohaninya meningkat melalui doa intensif dan ziarah ke makam para martir dan Rasul.4 Fenomena ini mengajarkan bahwa bekal keahlian profesional harus selalu dipadukan dengan kontrol moral yang ketat, yang berfungsi sebagai perisai terhadap godaan kekuasaan yang korup.
2.2. Pengasingan dan Penguasaan Linguistik yang Tak Tertandingi
Untuk memperkuat kehidupan rohaninya, Hieronimus pada tahun 370 M pindah ke Aquileia untuk mendapatkan bimbingan dari Uskup Valerianus. Dari sana, ia kemudian pindah ke Antiokia dan menjalani hidup bertapa (asketisme) di padang gurun Chalcis selama empat tahun.4 Periode ini (sekitar 374–378 M) bukanlah waktu pasif; sebaliknya, ia menjadikannya sebagai masa isolasi yang produktif, di mana ia meningkatkan hidup rohaninya melalui doa dan puasa, sambil secara intensif mengejar ilmu.
Di bawah bimbingan seorang rabi, Hieronimus mempelajari bahasa Yunani dan Ibrani.4 Pada masa itu, sangat jarang bagi seorang cendekiawan Barat untuk menguasai bahasa Ibrani, sebuah fakta yang menempatkan Hieronimus pada posisi intelektual yang unik.5 Ia tercatat menguasai setidaknya empat bahasa: Latin, Yunani, Ibrani, dan Khaldea.2 Kedalaman keahlian linguistik ini, yang dicapai melalui disiplin diri yang ekstrim dan penarikan diri dari kesibukan duniawi, merupakan kondisi prasyarat bagi tugas historis yang akan ia emban. Ini menunjukkan sebuah hubungan sebab-akibat yang jelas:
integritas publik yang autentik harus berakar pada penguasaan materi yang tak tertandingi dan dedikasi yang dibentuk oleh disiplin diri dan asketisme intelektual.
2.3. Pelayanan di Bawah Paus Damasus I: Pengakuan Meritokrasi
Berkat kemajuan rohaninya, Hieronimus ditahbiskan menjadi imam di Antiokia pada tahun 379 M.4 Setelah sempat tertarik pada cara hidup Santo Gregorius dari Nazianza di Konstantinopel, Hieronimus kemudian berangkat ke Roma dan di sana ia menjabat sebagai sekretaris pribadi Sri Paus Damasus (366–384).4
Puncak pengakuan atas kecakapan profesional Hieronimus terjadi ketika Paus Damasus menugaskannya melakukan pekerjaan revisi Injil Vetus Latina (Versi Latin Lama) yang digunakan di Gereja Roma. Tugas ini diberikan secara eksplisit karena pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang Kitab Suci, serta kecakapannya yang luar biasa dalam bahasa Latin, Yunani, dan Ibrani.4 Penunjukan Hieronimus oleh Paus Damasus merupakan contoh nyata dari
meritokrasi dalam otoritas. Di tengah krisis tekstual yang dialami Gereja saat itu, otoritas memilih kompetensi profesional (keahlian linguistik) sebagai syarat utama, bahkan mungkin di atas pertimbangan lain seperti loyalitas politik atau kepribadian yang mudah diatur. Ini adalah teladan penting bagi pejabat Katolik Indonesia untuk selalu menuntut dan menerapkan meritokrasi dalam pengisian jabatan publik.
III. Mahakarya dan Konflik: Vulgata sebagai Manifestasi Integritas Akademis
3.1. Vulgata: Revolusi Ketelitian Melawan Kelembaman Institusional
Setelah mandat awal untuk merevisi Injil, Hieronimus, atas inisiatifnya sendiri, memperluas pekerjaan terjemahan dan revisi untuk mencakup sebagian besar buku dalam Alkitab.6 Proyek maha karya ini, yang dikenal sebagai
Vulgata (Versi Umum), merupakan hasil terjemahan Perjanjian Lama dari bahasa Ibrani dan revisi Perjanjian Baru berbahasa Latin dari sumber Yunani. Pekerjaan yang monumental ini memakan waktu sekitar 15 tahun (sekitar 390–405 M).2 Hasil karyanya terbukti memiliki ketahanan sejarah yang luar biasa, digunakan selama lebih dari seribu tahun di Gereja Barat dan diresmikan oleh Konsili Trente sebagai Alkitab Latin resmi Gereja Katolik.2
Langkah Hieronimus tidak hanya bersifat konstruktif, tetapi juga destruktif terhadap teks-teks sebelumnya. Ia dengan berani menyerang Vetus Latina yang umum digunakan. Ia mengecam terjemahan lama tersebut karena “teksnya diterjemahkan buruk oleh penerjemah bodoh, atau diubah canggung oleh revisor yang cerewet tetapi tidak kompeten, atau disisipkan atau diputarbalikkan oleh penyalin yang mengantuk”.7 Tindakan ini memberikan pelajaran penting dalam etika publik dan prosedural:
tradisi atau kebiasaan yang sudah mapan tidak boleh membenarkan kualitas yang buruk atau prosedur yang cacat. Keberanian Hieronimus untuk menyingkirkan teks-teks yang telah lama digunakan demi akurasi filologis merupakan model bagi pejabat publik untuk menolak praktik birokratisasi yang rumit atau prosedur hukum yang demoralisasi 3, meskipun hal-hal tersebut telah menjadi kebiasaan institusional yang lazim.
3.2. Konflik Filologis: Ketegangan dengan Santo Agustinus
Mahakarya Hieronimus memicu kontroversi besar. Masalah utamanya bukan terletak pada kemampuannya sebagai penerjemah, yang diakui oleh semua pihak, termasuk Santo Agustinus.5 Kontroversi muncul dari keputusannya yang radikal untuk menerjemahkan Perjanjian Lama langsung dari
sumber Ibrani (disebut Hebraica Veritas), dan bukan dari terjemahan Yunani (Septuaginta) yang telah diterima secara turun-temurun oleh Gereja Barat.8
Santo Agustinus adalah kritikus yang paling vokal. Ia memohon kepada Hieronimus untuk menghentikan metode ini, karena ia sangat khawatir bahwa perbedaan tekstual antara terjemahan Latin baru yang didasarkan pada Ibrani dan teks-teks Yunani/Lama akan menciptakan “perbedaan yang nyata dalam pendapat antara gereja Latin dan Yunani”.8 Kekhawatiran Agustinus bersifat politis dan eklesiologis: ia takut hal itu akan secara serius membahayakan persatuan gereja. Hieronimus, dengan Kemandirian Intelektualnya, memilih untuk mempertahankan
kebenaran faktual filologis (akurasinya) di atas tuntutan stabilitas sosial-politik (persatuan institusional) yang menjadi prioritas Agustinus. Keputusan ini merupakan contoh luar biasa dari Kemandirian Moral.9 Bagi pejabat Katolik, ini berarti keberanian untuk mempertahankan prosedur yang bersih dan kebenaran faktual (misalnya, audit yang jujur) meskipun hal itu dapat menciptakan ketidaknyamanan, kritik, atau konflik dengan otoritas lain demi menjaga ‘stabilitas’ politik atau hubungan kerja.
IV. Hieronimus sebagai Pejuang Kebenaran: Militansi Intelektual dan Keberanian Moral
4.1. Prinsip Sentral dan Keutamaan: Ignoratio Scripturarum, Ignoratio Christi est!
Landasan teologis yang mendorong seluruh karya dan konflik Hieronimus adalah ucapannya yang terkenal: “Tidak kenal Kitab Suci, tidak kenal Kristus!”.2 Prinsip ini menempatkan penguasaan pengetahuan Kitab Suci sebagai syarat mutlak untuk memahami dan mengikuti Kristus. Berdasarkan cintakasihnya yang luar biasa intens kepada Allah, Hieronimus memandang siapa saja yang mengajarkan kesesatan sebagai “musuh Allah dan kebenaran”.2
Hubungan sebab-akibat yang ditarik dari prinsip ini adalah bahwa penguasaan teologis dan pengetahuan hukum yang mendalam (dalam konteks modern) adalah prasyarat untuk tindakan etis yang benar. Sebaliknya, ketidaktahuan (ignoratio) atau pemahaman yang dangkal adalah sumber utama dari kompromi moral, praktik koruptif, dan ketidakmampuan untuk membedakan yang benar dari yang salah di tengah tekanan kekuasaan.
4.2. Konfrontasi Militan: Menggunakan Tulisan untuk ‘Melabrak’ Kesesatan
Hieronimus tidak menggunakan senjata fisik, melainkan senjata intelektualnya. Ia terkenal dengan gaya konfrontasinya yang tajam dan tak kenal ampun. Ia menggunakan keahliannya sebagai pakar Kitab Suci untuk “menghantam” atau, dalam bahasa yang lebih keras, “melabrak” para pengajar sesat dengan tulisan-tulisannya yang penuh kuasa dan kadang-kadang sarkastis.2 Ini menunjukkan bahwa keahlian linguistiknya (Latin, Yunani, Ibrani, Khaldea) tidak hanya digunakan untuk terjemahan akademis, tetapi juga sebagai alat tempur untuk membela ortodoksi.2
Salah satu pertarungan teologisnya yang paling gigih adalah melawan Pelagianisme. Pelagius, seorang filsuf dan petapa dari Kepulauan Inggris, mengajarkan bahwa kejatuhan tidak menodai kodrat manusia dan bahwa manusia memiliki kehendak bebas—dibantu rahmat ilahi—untuk mencapai kesempurnaan dan memuaskan semua perintah Allah, menolak doktrin dosa asal.10 Fakta penting adalah bahwa Pelagianisme memiliki dukungan signifikan di kalangan elit Romawi kontemporer dan biarawan, sebuah kelas yang dekat dengan kekuasaan.10 Perlawanan Hieronimus terhadap Pelagianisme secara efektif merupakan
perlawanan terhadap teologi yang membenarkan arogansi dan kesombongan kekuasaan—sebuah keyakinan bahwa kekuasaan atau status elit dapat mencapai keadilan tanpa rahmat, sehingga membenarkan cara-cara kotor.
Sifat lekas panas Hieronimus, yang seringkali dianggap sebagai cacat karakter, dalam konteks ini dapat dipahami sebagai energi yang disublimasikan menjadi militansi intelektual. Bagi pejabat Katolik Indonesia, karakter ini harus diterjemahkan menjadi Keberanian Moral (Moral Courage).9 Keberanian ini adalah prasyarat etis untuk menghadapi tantangan endemik Indonesia: berani melawan korupsi berjemaah yang meraja dalam budaya
tenggang rasa dan kompromi.3 Keberanian ini menuntut sikap “siap tempur” untuk berkonfrontasi dengan segala bentuk kekuasaan yang menindas, koruptif, atau kolutif.3
V. Konteks Etika Publik Katolik Indonesia: Pusaran Politik dan Tuntutan Integritas
5.1. Realitas Kekuasaan dan Krisis Moralitas Publik
Gereja Katolik di Indonesia, meskipun merupakan minoritas (sekitar 3% dari total populasi), memiliki peran penting dalam kehidupan bernegara, terutama melalui kader-kader awam yang menduduki posisi strategis di pemerintahan dan hukum.3 Umat Katolik dihadapkan pada tiga ancaman struktural yang mencederai kehidupan berbangsa: birokratisasi yang rumit di segala bidang, politisasi agama yang tidak sehat, dan demoralisasi hukum.3
Krisis moralitas publik diperparah dengan fenomena korupsi berjemaah. Analisis menunjukkan bahwa korupsi semacam ini adalah cerminan dari budaya yang menjunjung tinggi tenggang rasa dan kompromi yang sedang meraja dalam watak bangsa.3 Budaya kompromi ini, meskipun tampak harmonis secara sosial, bertentangan secara langsung dengan spiritualitas Katolik yang menuntut integritas radikal. Padahal, semangat dasar untuk semua penyelenggaraan kekuasaan di dalam tubuh Gereja Katolik, dan seharusnya dalam pelayanan publik, adalah
MELAYANI.3 Umat Katolik dipanggil untuk mewujudkan nilai-nilai Injili, yaitu menjadi garam dan terang dunia.
5.2. Dilema Militansi: Antara Pelayanan dan Konfrontasi
Dalam merespons tantangan ini, terdapat dorongan dari lembaga-lembaga keagamaan untuk membentuk kader-kader awam Katolik yang terlibat dalam kegiatan sosial-politik dengan karakter “siap tempur”.3 Semangat militan ini ditujukan untuk berani berkonfrontasi dengan situasi sosial politik yang menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara di atas dasar UUD 1945 dan Pancasila, termasuk perlawanan terhadap tokoh-tokoh politik yang memperalat agama untuk kepentingan sektarian.3
Namun, implementasi semangat “siap tempur” menghadapi tantangan praktis yang serius. Beberapa tokoh awam Katolik mengungkapkan keengganan untuk melawan kebijakan penguasa, meskipun kebijakan tersebut represif, koruptif, atau kolutif. Alasan utama keengganan ini adalah kekhawatiran akan keselamatan hidup dan keluarga.3 Hal ini menggarisbawahi konflik serius antara tuntutan etika ideal dan risiko praktis yang harus ditanggung di Indonesia. Semangat Hieronimus hadir untuk mengisi kekosongan ini. Ia menunjukkan bahwa pelayanan sejati—pelayanan terhadap kebenaran mutlak—seringkali membutuhkan
keberanian radikal (fortitudo) untuk berkonfrontasi (melabrak), meskipun hal itu menimbulkan konflik dengan sesama otoritas gereja (seperti dengan Agustinus) atau menghadapi perlawanan dari elit sekuler (pendukung Pelagianisme).8 Integritas yang tinggi harus memunculkan pribadi yang berani menolak godaan dan intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.9
VI. Teladan Hieronimus: Lima Pilar Integritas Militan bagi Pejabat Indonesia
Model hidup Hieronimus dapat diterjemahkan secara sistematis menjadi lima kriteria nilai moral kuat yang diidentifikasi oleh Frans Magnis Suseno sebagai dasar kepribadian profesional hukum dan pejabat publik.9 Penerapan kelima pilar ini, dijiwai oleh militansi Hieronimusian, menjadi cetak biru bagi pejabat Katolik Indonesia untuk mewujudkan integritas tinggi.
6.1. Pilar I: Kejujuran (Honesty)
Kejujuran Hieronimus berakar pada pertobatannya dari kehidupan yang tidak tertib di Roma 4 dan dedikasinya pada kejujuran sumber primer Alkitab, bahkan jika itu berarti melawan tradisi yang sudah mapan. Ia bersikeras menerjemahkan dari sumber Ibrani dan Yunani yang otentik, menolak ketidakjujuran tekstual yang terdapat dalam
Vetus Latina.7
Dalam konteks publik Indonesia, kejujuran mewajibkan pejabat untuk mewujudkan konsistensi antara spiritualitas melayani dan tindakan nyata dalam kebijakan publik. Ini berarti menolak semua bentuk hipokrisi, penipuan, dan window dressing dalam birokrasi, serta menegakkan hukum dan regulasi yang murni, bebas dari manipulasi.
6.2. Pilar II: Autentik (Authenticity)
Hieronimus menunjukkan keautentikannya melalui penarikan diri ke padang gurun untuk hidup asketis 4 dan penolakannya terhadap
Vetus Latina yang “canggung”.7 Secara teologis, keautentikannya terlihat dalam perlawanannya terhadap Pelagianisme 10, yang secara implisit menolak kesombongan moral yang ditawarkan kepada kaum elit.
Autentisitas bagi pejabat Katolik berarti bertindak sesuai tuntutan hati nurani. Ini mencakup penolakan terhadap Pelagianisme modern—anggapan bahwa posisi kekuasaan memberikan imunitas moral atau superioritas etis. Pejabat harus otentik dalam kerendahan hati dan kesederhanaan hidup, menolak budaya hedonis kekuasaan yang bertentangan dengan spiritualitas melayani.
6.3. Pilar III: Bertanggung Jawab (Responsibility)
Tanggung jawab Hieronimus diukur dari komitmennya yang tak kenal lelah selama 15 tahun untuk menyelesaikan Vulgata.2 Ia juga menunjukkan kesediaan untuk menanggung kritik keras, bahkan dari sosok sebesar Agustinus, demi mempertahankan ketelitian karyanya.8
Integritas tinggi mendorong terbentuknya pribadi yang berusaha melakukan tugas dengan cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.9 Pejabat harus siap menerima konsekuensi dari keputusan yang diambil dan menunjukkan disiplin serta keuletan dalam berkomitmen pada reformasi struktural jangka panjang yang diperlukan untuk mengatasi birokratisasi dan demoralisasi hukum di Indonesia.
6.4. Pilar IV: Kemandirian Moral (Moral Independence)
Kemandirian Moral Hieronimus adalah pilar yang paling kontroversial dan revolusioner. Keputusannya untuk bersikeras menggunakan sumber Ibrani untuk Perjanjian Lama, meskipun hal itu bertentangan dengan tradisi mapan Gereja Barat (Vetus Latina) dan mengundang kritik tajam dari Santo Agustinus (otoritas rohani lain), menunjukkan bahwa ia menempatkan kebenaran objektif di atas konsensus atau tekanan otoritas.5
Bagi pejabat Indonesia, Kemandirian Moral adalah tuntutan untuk menentukan tindakan berdasarkan nilai-nilai moral yang murni, bukan berdasarkan kepentingan kelompok atau tekanan politik yang bersifat sektarian. Pejabat yang berintegritas harus berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi yang merusak penegakan kebenaran dan keadilan, sebuah tindakan yang esensial dalam mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa.9
6.5. Pilar V: Keberanian Moral (Moral Courage)
Keberanian Moral adalah manifestasi dari sifat militan Hieronimus, yang diwujudkan melalui penggunaan tulisan yang tajam untuk ‘melabrak’ pengajar sesat.2 Kesediaannya untuk diakui sebagai pribadi yang “lekas panas” demi kebenaran 2 menunjukkan bahwa keberanian terkadang membutuhkan gaya yang konfrontatif.
Ini adalah inti teladan Hieronimus bagi Indonesia. Keberanian Moral adalah prasyarat untuk menjadi kader “siap tempur”.3 Pejabat harus berani menentang budaya
tenggang rasa dan kompromi yang melanggengkan korupsi berjemaah.3 Keberanian ini meniscayakan risiko pribadi, tetapi diperlukan untuk mengatasi situasi sosial politik yang menghancurkan kehidupan berbangsa dan mewujudkan kualitas negara hukum yang berintegritas.9
Berikut adalah tabel sintesis yang merangkum hubungan antara karakter Hieronimus dan lima pilar integritas publik yang relevan bagi pejabat Katolik Indonesia:
Sintesis Karakter Hieronimus dan Lima Pilar Integritas Publik Indonesia
|
Karakteristik Hieronimus
|
Nilai Moral Inti (Magnis Suseno) 9
|
Manifestasi Integritas Publik Indonesia
|
|
Ketelitian Linguistik (Vulgata) 8
|
Kejujuran
|
Penegakan Hukum dan Regulasi yang Murni; Menolak ‘Vetus Latina’ (birokratisasi rumit).3
|
|
Dedikasi 15 Tahun di Gurun 2
|
Bertanggung Jawab
|
Etos Kerja Keras dan Profesionalisme Tinggi; Komitmen pada Reformasi Jangka Panjang.
|
|
Melawan Agustinus/Vetus Latina 7
|
Kemandirian Moral
|
Menolak Intervensi atau Tekanan Politis; Menjaga Prinsip di atas Konsensus yang Tidak Etis.9
|
|
Melabrak Ajaran Sesat (Sarkastis) 2
|
Keberanian Moral
|
Berani Menghantam Korupsi Berjemaah; Bersikap ‘Siap Tempur’ melawan penindasan/kolusi.3
|
|
Asketisme dan Pertobatan 4
|
Autentik
|
Hidup Sederhana dan Transparan; Menghindari Kesombongan Moral (Pelagianisme Modern).9
|
VII. Penutup: Warisan Hieronimus dan Panggilan Aksi
7.1. Hieronimus sebagai Model Sapientia (Kearifan) dan Fortitudo (Keberanian)
Kisah hidup Santo Hieronimus menyediakan model bagi umat Katolik, khususnya mereka yang menduduki posisi di pemerintahan, tentang bagaimana kekudusan diterjemahkan ke dalam ranah publik dan intelektual. Model ini menuntut perpaduan yang harmonis antara Sapientia (Kearifan) dan Fortitudo (Keberanian). Kearifan diwakili oleh penguasaan ilmu yang tak tertandingi (Vulgata), sementara Keberanian diwujudkan dalam kemauan untuk berkonfrontasi (perlawanan terhadap Pelagianisme dan kritiknya terhadap Agustinus).
Tuntutan kekudusan ini tidak pernah mengizinkan pemisahan antara kecakapan profesional dan integritas moral. Tanpa kearifan, keberanian hanya akan menjadi agresi buta yang tidak efektif dalam sistem; sebaliknya, tanpa keberanian, kearifan akan menjadi pengecut dan hanya akan menghasilkan kompromi yang melanggengkan ketidakadilan dan korupsi.
7.2. Panggilan Aksi bagi Pejabat Katolik Indonesia
Bagi pejabat Katolik di Indonesia, panggilan moral yang berasal dari teladan Santo Hieronimus adalah untuk mewujudkan spiritualitas melayani dengan militansi Hieronimusian. Ini berarti bahwa keahlian profesional harus digunakan sebagai senjata etika. Pejabat tersebut harus mempraktikkan Kemandirian Moral untuk menolak praktik yang tidak etis dan memimpin dengan integritas tinggi.
Secara konkret, panggilan aksi ini meliputi:
- Mengutamakan Ketelitian (Kejujuran dan Bertanggung Jawab): Menolak birokratisasi rumit dan prosedur hukum yang cacat, dengan meniru Hieronimus yang mengganti Vetus Latina yang buruk dengan Vulgata yang akurat.
- Menghindari Kesombongan Kekuasaan (Autentik): Menolak Pelagianisme modern, yaitu keyakinan bahwa kekuasaan atau status dapat membenarkan ketidakjujuran atau kurangnya disiplin diri.
- Mengembangkan Keberanian Radikal (Kemandirian Moral dan Keberanian Moral): Berani menjadi kader “siap tempur” yang menentang budaya tenggang rasa dan kompromi yang melanggengkan korupsi berjemaah, meskipun harus menanggung risiko konflik dan ketidaknyamanan pribadi.
Hanya melalui pemaduan kearifan intelektual dan keberanian moral, seperti yang dicontohkan oleh Santo Hieronimus, umat Katolik yang berada di posisi pemerintahan dapat mengatasi Demoralisasi hukum dan mewujudkan kualitas negara hukum Indonesia yang berwibawa dan adil.9 Mereka harus menjadi pribadi yang jujur dan tangguh berpegang pada nilai atau norma yang berlaku, menolak intervensi, dan mengedepankan hati nurani untuk menegakkan kebenaran demi kepentingan bangsa dan negara.
Works cited
- Jerome – Wikipedia, accessed September 29, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Jerome
- SEDIKIT CERITA TENTANG SANTO HIERONIMUS, IMAM DAN …, accessed September 29, 2025, https://sangsabda.wordpress.com/2016/09/29/sedikit-cerita-tentang-santo-hieronimus-imam-dan-pujangga-gereja/
- GEREJA KATOLIK INDONESIA DI TENGAH PUSARAN POLITIK …, accessed September 29, 2025, https://ejournal.stftws.ac.id/index.php/spet/article/download/27/22/
- Santo Antonius: 30 September: Santo Hieronimus, Imam dan …, accessed September 29, 2025, https://santoantonius.blogspot.com/2010/09/30-september-santo-hieronimus-imam-dan.html
- St. Jerome and Augustine Find the Bible Poorly written – Would Rather Read Cicero and Plautus : r/latin – Reddit, accessed September 29, 2025, https://www.reddit.com/r/latin/comments/6sx7re/st_jerome_and_augustine_find_the_bible_poorly/
- Vulgate – Wikipedia, accessed September 29, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Vulgate
- A Brief History of the Latin Vulgate – The Thoughtful Catholic, accessed September 29, 2025, https://thoughtfulcatholic.com/a-brief-history-of-the-latin-vulgate/
- How did Augustine of Hippo feel about Jerome’s Latin translation of the Bible (the Vulgate)?, accessed September 29, 2025, https://christianity.stackexchange.com/questions/13867/how-did-augustine-of-hippo-feel-about-jeromes-latin-translation-of-the-bible-t
- penegakan dan penguatan integritas peradilan – Komisi Yudisial, accessed September 29, 2025, https://www.komisiyudisial.go.id/storage/assets/uploads/files/kRsAoaLk_Buku%20BUNGA%20RAMPAI%202023.pdf
Pelagianism – Wikipedia, accessed September 29, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Pelagianism
The post Santo Hieronimus: Teladan Keberanian Intelektual dan Integritas Militan bagi Pejabat Katolik Indonesia di Tengah Pusaran Korupsi dan Pluralisme appeared first on Mengenal Katolik.

Leave a Reply